Guano Sebagai Bahan Pupuk Organik

Guano (dari Runa Simi 'wanu' melalui bahasa Spanyol) merujuk pada tinja burung laut maupun kelelawar. Bangsa Inka mengumpulkan guano dari pesisir Peru untuk penyubur tanah. Mereka memberikan penghargaan tinggi pada guano, membatasi akses atasnya dan menjatuhkan hukuman pada pihak yang mengganggu produsennya hingga mati.

Kotoran kelelawar yang sering disebut guano, ternyata menyimpan potensi besar sebagai pupuk organik. Sekitar 1.000 gua di Indonesia diprediksi berpotensi menjadi salah satu solusi atas problem kesulitan pupuk di negara kita saat ini.

Kotoran kelelawar yang sering disebut guano, ternyata menyimpan potensi besar sebagai pupuk organik. Sekitar 1.000 gua di Indonesia diprediksi berpotensi menjadi salah satu solusi atas problem kesulitan pupuk di negara kita saat ini.
Salah satu penelitian yang mampu membuktikan kegunaan guano sebagai bahan dasar pupuk organik adalah penelitian Universitas Cornell di New York-Amerika Serikat. Hasil penelitian yang dilansir dalam situs www.css.Cornell menyatakan bahwa guano memiliki tingkat nitrogen terbesar setelah kotoran merpati. Namun, menduduki urutan pertama dalam bagian kadar unsur fosfat dan menduduki urutan ketiga terbesar bersama kotoran sapi perah dalam kadar kalium.
Dari keterangan tersebut guano kelelawar mengandung paling banyak fosfat. Fosfat merupakan bahan utama penyusun pupuk di samping nitrogen dan Potasium. Di samping tiga unsur utama tersebut, guano mengandung semua unsur atau mineral mikro yang dibutuhkan tanaman. Tidak seperti pupuk kimia buatan, guano tidak mengandung zat pengisi. Guano tinggal lebih lama dalam jaringan tanah, meningkatkan produktivitas tanah dan menyediakan makanan bagi tanaman lebih lama dari pada pupuk kimia buatan.
Indonesia sendiri sebagai negara agraris seharusnya melihat potensi ini. Sebagian besar industri pertanian tersebut pasti membutuhkan pupuk sebagai pendukung keberhasilan.
Namun, hingga kini untuk memenuhi permintaan petani terhadap pupuk, pemerintah masih mengandalkan impor terhadap bahan dasar pupuk tersebut. Misalnya, untuk membuat pupuk TSP (Triplesuperphosphate), hampir 100% bahan dasarnya diimpor.
Sebagai contoh, menurut data Statistik Impor, Indonesia telah mengimpor triplesuperphosphate pada Mei 2001 sebanyak 7.570 ton dengan nilai US$ 892.847 atau sekitar Rp 8.035.623.000 atau sekitar 8 triliun per bulan. Sehingga hal ini diperkirakan dalam satu tahun menghabiskan devisa sekitar 96 triliun rupiah. Jelas hal ini amat merugikan kita.
Indonesia mempunyai banyak kekayaan hayati, baik flora maupun fauna, namun belum mengetahui atau belum dapat mengelola sumberdaya tersebut sebagai pemenuhan berbagai kebutuhan hidup manusia.
Pada akhirnya, sumberdaya tersebut banyak dieksploitasi asing dengan harga murah dan dijual kembali ke Indonesia dengan berbagai kemasan dan harga yang lebih mahal. Seperti halnya pupuk TSP, kita mengimpor total bahan tersebut padahal Indonesia sendiri mempunyai banyak potensi.

sumber :
1. Situs Hijau (http://www.situshijau.co.id/tulisan.php?act=detail&id=625&id_kolom=15).
2. Wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/Guano)